Powered By Blogger

Kamis, 22 Desember 2011

Tugas Ilmu Budaya Dasar

 Plagiarisme dalam Hegemoni Kultur Akademi


Plagiarisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ialah penjiplakan yang melanggar hak cipta, yaitu hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang. Plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan atau pendapat sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri. Orang yang melakukan plagiat disebut plagiator atau penjiplak. Dengan merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebenarnya hamper setiap hari kita menyaksikan plagiarisme, plagiat dan plagiator, baik yang sengaja maupun yang tidak. Para “pakar” dalam berbagai bidang ini tidak jarang melontarkan pendapat yang sebenarnya merupakan hasil penelitian atau pendapat orang lain sebelumnya untuk menganalisis atau menjelaskan suatu topik aktual di bidang tertentu. Pada umumnya mereka enggan menjelaskan bahwa analisis atau pendapat itu berasal dari orang lain, dan mereka hanya sekadar mengulangi atau meminjam pendapat tersebut.
Definisi plagiarisme di atas, kiranya sudah mendapat kesepakatan dari masyarakat akademis di seluruh dunia, baik masyarakat akademis di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang, maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Selama ini, AS merupakan negara yang sangat ketat terhadap plagiarisme. Para plagiator akan dikenakan sanksi yang setimpal dengan perbuatannya. Kalau ada mahasiswa atau dosen yang melakukan plagiarisme, maka dirinya harus siap dikeluarkan dari sekolah atau universitasnya. Tanpa moralitas yang baik, maka dunia akademik akan kehilangan wajah pentingnya yaitu kejujuran.
 Di Indonesia pernah dinyatakan telah terjadi inflasi ijazah Apa yang tertulis di sertifikat, diploma, atau ijazah tidak selalu mencerminkan kemampuan pribadi pemegangnya. Dalam konteks ini, upaya untuk memerangi plagiarisme akademis merupakan upaya urgen. Niat untuk meningkatkan kuantitas sarjana, atau bahkan kuantitas guru besar tak perlu ditinggalkan, hanya perlu dilengkapi dengan upaya konkret untuk meningkatkan kualitas. Pada kenyataannya, argumentasi dalam sebuah proposisi keilmuan memang tidak bisa dikelabui karena bisa diuji melalui ilmu logika. Tetapi proses pemunculan argumentasi itu tidak sulit untuk dimanipulasi. Karena itu, sikap ilmuwan terhadap kebenaran ilmiah jelas membutuhkan tolok ukur lain yang menyangkut kejujuran, moralitas, dan integritas keilmuan seseorang. Benar bahwa masalah kejujuran memang berpulang kepada yang bersangkutan. Kejujuran hanya bisa dinilai oleh mereka yang berhadapan dengan masalah itu. Merekalah yang tahu, apakah mereka menyerahkan sebuah pertanggungjawaban akademik atau tidak. Para guru seharusnya jujur karena mereka mengawasi tindakan moralitas para anak didiknya. Dosen seharusnya juga jujur, karena dirinya berhadapan dengan sistem pertanggungjawaban akademik yang menginginkan adanya kejujuran. Kasus plagiarisme di kampus dan sekolah-sekolah harus segera diselesaikan. Apalagi figur pendidik selama ini dikenal mulia hingga digelari pahlawan tanpa tanda jasa.
Jadi menurut saya bahwa plagiarisme itu sangat tidak baik untuk ditiru atau dicontoh karena plagiarisme merupakan sebuah kasus atau tindak kejahatan seseorang karena telah menjiplak hasil karya orang lain yang telah di hak cipta. Sebaiknya hal seperti ini cepat diatasi agar plagiarisme tidak semakin merajalele, sehingga bangsa kita ini bisa berbangga bahwa kejujuran selalu diutamakan dalam hal apapun. Selain itu plagiarisme sangat merugikan bagi orang lain dan Negara karena telah melakukan kebohongan publik.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar