Powered By Blogger

Kamis, 02 Mei 2013

Tugas Softskil : kewarganegaraan


A.    Munculnya Isu Pribumi dan Non-Pribumi
Sebelum kita membhas tentang asal mula timbulnya  isu munculnya Pribumi dan Non-Pribumi , kita harus dapat mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan Pribumi dan Non-Pribumi. Pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut berada. Jadi, anak dari orang tua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang kakek-nenek adalah orang asing. Tetapi, di Indonesia istilah Pribumi dan Non Pribumi di artikan seperti ini, Pribumi ialah sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit mereka.
Golongan Pribumi dan Non Pribumi timbul akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah.
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926.  Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu  beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. 
Karena istilah pribumi dan non-pribumi diciptakan oleh penjajah dan penguasa yang kejam, sudah saatnya kita harus meninggalkan istilah tersebut. Kekuatan rakyat harus menciptakan sendiri istilah yang baru, yakni “patriot” dan “penghianat”. Seorang patriot adalah yang memperjuangkan negara dan tanah airnya demi kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Untuk itu kita dukung perjuangan para patriot tersebut saat ini. Sedangkan golongan kedua adalah penghianat, mereka yang merusak bangsa kita demi kepentingan pribadi ataupun golongan dengan menghancurkan kepentingan bangsa dan negara. Mereka yang mengobral aset bangsa, kebijakan pro-konglomerasi, dan memakan uang rakyat serta membangun dinasti keluarga di pemerintahan, legislatif maupun penegak hukum. Kita perlu memata-matai tindak tanduk mereka, dan memperjuangkan hukum untuk mengadili para penghianat tersebut.
Tentunya gerakan reformasi rakyat untuk melawan penghianat dan penjajah baru  ini bukanlah dengan revolusi berdarah,  tapi dapat dilakukan dengan reformasi rakyat terutama dari pemimpin pemerintah, penegak hukum, serta mereformasi badan legislatif yang masih lemah. Dan tidak kalah penting adalah sistem edukasi di lembaga pendidikan.  Untuk itu, diharapkan para tokoh bangsa turut mengawasi para penguasa di negeri ini, serta edukasi masyarakat untuk memilih pemimpin yang patriot, bukan pemimpin sekadar populer.

Setelah era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali kekuatan persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi birokrasi yang menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama.  Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas di era Gusdur.
Adapun beberapa  kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) menurut Pasal 26 UUD 1945 yaitu :
1.      Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
2.      Penduduk ialah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
3.      Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang

B.     Jawab pertanyaan berikut dalam bentuk tulisan bebas dengan judul sesuai pertanyaan

§          Apakah di Indonesia ada penduduk asli, dimanakah domisilinya?

Kembali ke masa prasejarah, penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang dalam beberapa gelombang.
Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.

Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.

Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan.

Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol. Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal. Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka. Pengorganisasian ini membuat mereka sanggup belajar membuat peralatan rumah tangga dari tanah dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistim kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan dengan pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu, pertemuan dua peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan peperangan-peperangan untuk memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini, seperti suku Sakai, Kubu, dan Anak Dalam.

Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran.
Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari bangsa Melayu Tua.Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan mereka mencari tanah baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang menempati wilayah mereka.

Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman. Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulau Melanesia.

Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.

Dari seluruh pendatang yang pindah dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut tidak seluruhnya menetap di Nusantara. Ada juga yang kembali bergerak ke arah Cina Selatan dan kemudian kembali ke kampung halaman dengan membawa kebudayaan setempat atau kembali ke Nusantara. Dalam kedatangan-kedatangan tersebut penduduk yang lebih tua menyerap bahasa dan adat para imigran. Jarang terjadi pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak ada penggantian penduduk secara besar-besaran. Percampuran-percampuran inilah yang menjadi cikal bakal Nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras kuning (mongoloid) yang bermigrasi ke selatan dari Yunan, ras hitam yang dimiliki oleh bangsa Melanesoide dan Ceylon dan ras putih anak benua India.

Sehingga tidak ada penduduk atau ras asli wilayah Nusantara kecuali para manusia purba yang ditemukan fosil-fosilnya. Kalaupun memang ada penduduk asli Indonesia maka ia terdesak terus oleh pendatang-pendatang boyongan sehingga secara historis-etnologis terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti sesungguhnya atau kehilangan ciri-ciri kebudayaannya dan terlebur di dalam masyarakat baru. Semua adalah bangsa-bangsa pendatang.

§  Kenapa timbul istilah Pribumi dan Non Pribumi?

Istilah Pribumi dan Non Pribumi timbul akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Contohnya dulu Indonesia di jajah oleh Jepang, para pemimpin Jepang diperlakukan sebagai kelas atas sedangakan rakyat biasa (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas bawah. Sekarang telah dijelaskan dam Pasal 27 ayat 1 yaitu: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya”. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban dan tidak adanya diskriminasi di antara warga negara.

§  Siapa saja yang dimaksud Non Pribumi?

Non Pribumi ialah penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Namun pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit mereka.

§  Kenapa Istilah Non Pribumi yang menonjol hanya pada etnis Tionghoa?

semakin lebarnya jurang pemisah antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya yang
ada di Indonesia, seperti hasil observasi yang dilakukan Tan (dalam Susetyo,
1999) dikatakan memang terdapat kesan bahwa hubungan antar etnis Tionghoa
dengan etnis Indonesia lainnya cenderung tegang dan saling curiga (Warnean
dalam Susetyo, 1999)

Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, hubungan antara
etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi lainnya terus-menerus diwarnai konflik,
mulai dari konflik terbesar yaitu politik ”memecah belah bangsa” (devide et
impera) yang sengaja dibuat oleh Belanda untuk memecah belah bangsa
Indonesia, pemberontakan PKI tahun 1965, tragedi Mei 1998, dan konflik-konflik
lainnya. Politik ”memecah belah bangsa” merupakan awal munculnya gerakangerakan
anti-Cina. Hal ini disebabkan oleh pemberian kedudukan yang istimewa
terhadap etnis Tionghoa dalam struktur kemasyarakatan pada saat itu, yaitu di
bawah Belanda dan di atas Pribumi. Posisi orang Tionghoa ini menjadi wahana
yang subur bagi tumbuh kembangnya perasaan superior. Situasi ini telah memicu
munculnya prasangka pada golongan etnis Tionghoa terhadap golongan etnis
Pribumi (Helmi, 1991).

Masa-masa yang menguntungkan bagi etnis Tionghoa tersebut kemudian
berakhir pada pemberontakan PKI 1965 dan tragedi Mei 1998. Pada saat itu,
orang Tionghoa menjadi sasaran kemarahan massa, dan muncul aksi-aksi
diskriminatif seperti aksi kekerasan ”anti-Cina”. Etnis Tionghoa diduga turut
mendukung pemberontakan tersebut, akibatnya kekerasaan massa anti-Cina mulai
marak, dan pada tragedi Mei 1998, etnis Tionghoa juga menjadi korban kemarahan massa. Perumahan dan pertokoan milik etnis Tionghoa dibakar, dan
perempuan keturunan Tionghoa diperkosa (Toer, 1998). Tragedi ini merupakan
representasi paling nyata dari adanya prasangka terhadap etnis Tionghoa
(Gerungan, 2002).

Pengalaman traumatis yang dialami baik oleh golongan Pribumi ataupun
golongan Tionghoa sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang
menyebabkan prasangka pada masing-masing pihak semakin kental (Sarwono,
1999). Prasangka di kalangan Pribumi tentang golongan Tionghoa adalah orang
Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan Pribumi tidak, memiliki nasionalisme
yang rendah, eksklusif, kikir,sombong, dan plin-plan dengan mengira bahwa
semuanya bisa dibeli dengan uang. Di pihak lain golongan Tionghoa juga
berprasangka kepada golongan Pribumi. Menurut penelitian Willmot dalam
Sarwono (1999), golongan non-Pribumi (orang Tionghoa) merasa dirinya lebih
pandai dan lebih canggih daripada Pribumi. Golongan Pribumi pemalas dan tidak
dapat dipercaya (Sarwono, 1999).

Permasalahan antar etnis ini dapat ditinjau dari social-categorization
theory yang dikemukakan oleh Turner, dkk (1987) bahwa dalam kehidupan
sehari-harinya, individu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial
mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ”kita” dan ”mereka” atau ”us
versus them”. Dalam kaitannya dengan permasalahan etnis yang terjadi di
Indonesia, baik kelompok etnis Pribumi maupun kelompok etnis Tionghoa telah
membuat kategorisasi sosial berdasarkan pada karakteristik fisik yang menonjol
seperti warna kulit, bahasa yang digunakan, agama yang dianut dan karakteristik
fisik lainnya (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Kelanjutan dari kecenderungan
ini adalah individu akan memandang kelompok ingroup lebih baik dibandingkan
kelompok outgroup. Kelompok outgroup biasanya akan dinilai secara negatif
seperti memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya
kelompok outgroup tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya
sebagai kelompok ingroup (Soeboer, 1990). Tjun dalam Sarwono (1999)
menemukan bahwa di kalangan siswa Pribumi dan non-Pribumi, pandangan
terhadap kelompok ingroup selalu lebih positif daripada outgroup, sedangkan
Hastuti dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa karyawan Pribumi yang berada
dalam lingkungan kerja dengan mayoritas non-Pribumi (Tionghoa) bersikap lebih
positif terhadap non-Pribumi daripada Pribumi yang bekerja di lingkungan di
mana ia sendiri menjadi minoritas.

Menurut Brewer dan Miller dalam Mendatu (2007), perasaan ingroup dan
outgroup berhubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Kelompok ingroup akan
memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota
kelompok outgroup, sama yaitu semuanya tidak bisa dipercaya. Hal yang sama
juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi dalam Irmawati (1996), adanya
prasangka dalam diri seorang pengusaha ataupun karyawan akan membuat mereka
membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya atau
dengan kata lain cenderung mempersepsikannya dengan cara yang sama.
Misalnya seorang pengusaha meyakini bahwa kemampuan kerja karyawan yang
berasal dari satu suku / ras tertentu (outgroup) jelek atau rendah, maka atas dasar
keyakinan ini segala pengalaman yang diperolehnya mengenai suku / ras tersebut akan dianggap sama dari segi keyakinan tadi. Dengan kata lain, pengusaha
tersebut tidak mempercayai (distrust) karyawan dari suku / ras tertentu (outgroup)
berdasarkan pada keyakinan yang dimiliki sebelumnya (Irmawati, 1996).
Trust merupakan hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan organisasi
supaya hubungan antar individu dapat berjalan dengan baik sehingga
meningkatkan produktifitas dan performansi kerja (Robbins, 2005). Tanpa adanya
trust, kesuksesan suatu projek tidak akan tercapai, sebaliknya energi dan uang
akan terbuang sia-sia. Trust merupakan perasaan yang dinamis. Setiap perilaku
yang ditunjukkan individu dalam suatu organisasi akan menurunkan atau
menaikkan derajat kepercayaan (trust) yang dirasakan orang lain terhadapnya
(Johnson & Johnson, 2000). Trust bukan merupakan hal yang mudah untuk
dibangun, terutama apabila hubungan antar kedua pihak tersebut
dikarakteristikkan dengan adanya resiko yang tinggi. Trust meliputi kepercayaan
bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, jujur, bisa
dipercaya, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja melebihi target (Fletcher
& Clark, 2001). Interaksi yang intens akan membuat seseorang mampu untuk
memprediksi bagaimana sifat seseorang di masa yang akan datang.
Menurut Flynn & Chatman (2002), trust dipengaruhi oleh kategorisasi
sosial (social categorization). Social categorization merupakan salah satu sumber
penyebab munculnya prasangka, yaitu individu cenderung untuk membagi dunia
sosial mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ingroup dan outgroup.
Pada dunia kerja dimana terdapat karyawan Pribumi dan non-Pribumi
(karyawan etnis Tionghoa) akan sering muncul prasangka. Diduga terjadinya prasangka ini sebagai akibat adanya perbedaan posisi atau kedudukan jabatan
dimana karyawan non-Pribumi lebih banyak menduduki jabatan yang lebih tinggi
dibanding karyawan Pribumi sekalipun tingkat pendidikan karyawan Pribumi
lebih tinggi dari karyawan non-Pribumi (Irmawati, 1996).

§    Langkah apa yang dapat anda sarankan untuk menghilangkan isu Pribumi dan Non Pribumi di Indonesia?
Menurut saya langkah yang harus dilakukan untuk menghilangkan isu Pribumi dan Non Pribumi di Indonesia yaitu dimulai dari langkah yang sederhana, dengan untuk tidak membeda-bedakan sesama manusia. Karena negara kita terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama yang sudah sepatutnya kita saling menghargai satu sama lain tanpa mempermasalahkan perbedaan yang ada.


Source :