A.
Munculnya
Isu Pribumi dan Non-Pribumi
Sebelum
kita membhas tentang asal mula timbulnya
isu munculnya Pribumi dan Non-Pribumi , kita harus dapat mengetahui dulu
apa yang dimaksud dengan Pribumi dan Non-Pribumi. Pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang
bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk
yang bukan penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti
penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut
berada. Jadi, anak dari orang tua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah
orang pribumi, meskipun sang
kakek-nenek adalah orang asing. Tetapi, di Indonesia istilah Pribumi dan Non
Pribumi di artikan seperti ini, Pribumi ialah sebagai penduduk Indonesia yang
berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk
Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih),
maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa
generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan
penduduk Indonesia berdasarkan warna
kulit mereka.
Golongan Pribumi dan Non Pribumi timbul akibat adanya perbedaan
mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan
yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang
berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun
nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda
memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan.
Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan
golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum
(penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah.
Setelah
merdeka, para pejuang kemerdekaan kita berusaha menghapuskan diskriminasi
tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya
diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan. Bung Karno telah
meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh
Indonesia” yang
diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua
elemen/golongan Untuk itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan
dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower.
Karena
istilah pribumi dan non-pribumi diciptakan oleh penjajah dan penguasa yang kejam,
sudah saatnya kita harus meninggalkan istilah tersebut. Kekuatan rakyat harus
menciptakan sendiri istilah yang baru, yakni “patriot” dan “penghianat”. Seorang patriot adalah
yang memperjuangkan negara dan tanah airnya demi kesejahteraan dan kemandirian
bangsa. Untuk itu kita dukung perjuangan para patriot tersebut saat ini.
Sedangkan golongan kedua adalah penghianat, mereka yang merusak bangsa kita
demi kepentingan pribadi ataupun golongan dengan menghancurkan kepentingan
bangsa dan negara. Mereka yang mengobral aset bangsa, kebijakan pro-konglomerasi,
dan memakan uang rakyat serta membangun dinasti keluarga di pemerintahan,
legislatif maupun penegak hukum. Kita perlu memata-matai tindak tanduk mereka,
dan memperjuangkan hukum untuk mengadili para penghianat tersebut.
Tentunya
gerakan reformasi rakyat untuk melawan penghianat dan penjajah baru ini
bukanlah dengan revolusi berdarah, tapi dapat dilakukan dengan reformasi
rakyat terutama dari pemimpin pemerintah, penegak hukum, serta mereformasi
badan legislatif yang masih lemah. Dan tidak kalah penting adalah sistem
edukasi di lembaga pendidikan. Untuk itu, diharapkan para tokoh bangsa
turut mengawasi para penguasa di negeri ini, serta edukasi masyarakat untuk
memilih pemimpin yang patriot, bukan pemimpin sekadar populer.
Setelah era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia
berusaha mengangkat kembali kekuatan persatuan dengan menghilangkan
diskriminasi perusak bangsa. Reformasi birokrasi yang menghasilkan sedikit
perubahan dalam mengurangi praktik pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan
agama. Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta
menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas
di era Gusdur.
Adapun beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) menurut
Pasal 26 UUD 1945 yaitu :
1. Yang
menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
2. Penduduk
ialah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia.
3. Hal-hal
mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang
B. Jawab pertanyaan berikut dalam
bentuk tulisan bebas dengan judul sesuai pertanyaan
§ Apakah di Indonesia ada penduduk
asli, dimanakah domisilinya?
Kembali
ke masa prasejarah, penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan
yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia Indonesia purba lainnya dan
keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang dalam beberapa
gelombang.
Berdasarkan
fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa
sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni.
Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau
mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo
Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip
dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.
Dengan
demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia”
adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia
purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara
nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu.
Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari
teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan
di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan
kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.
Sekitar
tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan
pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun Melayu
Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang
berasal dari daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan.
Suku-suku
dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti
memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang
terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria
dan Mongol. Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai
jenis kebudayaan awal. Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan
pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka. Pengorganisasian ini membuat
mereka sanggup belajar membuat peralatan rumah tangga dari tanah dan berbagai
peralatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistim kepercayaan
untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan dengan pertanian
mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu, pertemuan dua peradaban yang
berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan peperangan-peperangan untuk
memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang
lebih bermutu, kaum pendatang dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang
mereka usung kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa
pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku
bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini, seperti suku Sakai, Kubu,
dan Anak Dalam.
Arus
pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam
perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah lain.
Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal bercocok
tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan aliran sungai
atau mata air menjadi incaran.
Wilayah
yang sudah mulai ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk
dipertahankan dari bangsa Melayu Tua.Tuntutan budaya yang sudah menetap
mengharuskan mereka mencari tanah baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih
tinggi, bangsa Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa
penguasa baru yang menempati wilayah mereka.
Namun
kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya percampuran darah
antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di
Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri
ke pedalaman. Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di
Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di
pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-orang Papua
Melanesoide di Irian dan pulau-pulau Melanesia.
Pada
gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang
Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka
disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya.
Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada
karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi.
Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya
hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena
kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak
berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah
pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu
dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat berkembang
dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal
bangsa Indonesia sekarang.
Dari
seluruh pendatang yang pindah dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut tidak
seluruhnya menetap di Nusantara. Ada juga yang kembali bergerak ke arah Cina
Selatan dan kemudian kembali ke kampung halaman dengan membawa kebudayaan
setempat atau kembali ke Nusantara. Dalam kedatangan-kedatangan tersebut
penduduk yang lebih tua menyerap bahasa dan adat para imigran. Jarang terjadi
pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak ada penggantian penduduk secara
besar-besaran. Percampuran-percampuran inilah yang menjadi cikal bakal
Nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras kuning (mongoloid) yang
bermigrasi ke selatan dari Yunan, ras hitam yang dimiliki oleh bangsa
Melanesoide dan Ceylon dan ras putih anak benua India.
Sehingga
tidak ada penduduk atau ras asli wilayah Nusantara kecuali para manusia purba
yang ditemukan fosil-fosilnya. Kalaupun memang ada penduduk asli Indonesia maka
ia terdesak terus oleh pendatang-pendatang boyongan sehingga secara
historis-etnologis terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti sesungguhnya atau
kehilangan ciri-ciri kebudayaannya dan terlebur di dalam masyarakat baru. Semua
adalah bangsa-bangsa pendatang.
§ Kenapa timbul istilah Pribumi dan
Non Pribumi?
Istilah
Pribumi dan Non Pribumi timbul akibat adanya perbedaan
mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan
yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Contohnya dulu Indonesia di jajah
oleh Jepang, para pemimpin Jepang diperlakukan sebagai kelas atas sedangakan
rakyat biasa (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas bawah. Sekarang telah
dijelaskan dam Pasal 27 ayat 1 yaitu: “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya”. Hal ini
menunjukkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban dan tidak adanya
diskriminasi di antara warga negara.
§ Siapa saja yang dimaksud Non
Pribumi?
Non
Pribumi ialah penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Namun pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai
istilah non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia
yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk
Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih),
maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa
generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan
penduduk Indonesia berdasarkan warna
kulit mereka.
§ Kenapa Istilah Non Pribumi yang
menonjol hanya pada etnis Tionghoa?
semakin
lebarnya jurang pemisah antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya yang
ada
di Indonesia, seperti hasil observasi yang dilakukan Tan (dalam Susetyo,
1999)
dikatakan memang terdapat kesan bahwa hubungan antar etnis Tionghoa
dengan
etnis Indonesia lainnya cenderung tegang dan saling curiga (Warnean
dalam
Susetyo, 1999)
Sejak
jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, hubungan antara
etnis
Tionghoa dengan etnis Pribumi lainnya terus-menerus diwarnai konflik,
mulai
dari konflik terbesar yaitu politik ”memecah belah bangsa” (devide et
impera)
yang sengaja dibuat oleh Belanda untuk memecah belah bangsa
Indonesia,
pemberontakan PKI tahun 1965, tragedi Mei 1998, dan konflik-konflik
lainnya.
Politik ”memecah belah bangsa” merupakan awal munculnya gerakangerakan
anti-Cina.
Hal ini disebabkan oleh pemberian kedudukan yang istimewa
terhadap
etnis Tionghoa dalam struktur kemasyarakatan pada saat itu, yaitu di
bawah
Belanda dan di atas Pribumi. Posisi orang Tionghoa ini menjadi wahana
yang
subur bagi tumbuh kembangnya perasaan superior. Situasi ini telah memicu
munculnya
prasangka pada golongan etnis Tionghoa terhadap golongan etnis
Pribumi
(Helmi, 1991).
Masa-masa
yang menguntungkan bagi etnis Tionghoa tersebut kemudian
berakhir
pada pemberontakan PKI 1965 dan tragedi Mei 1998. Pada saat itu,
orang
Tionghoa menjadi sasaran kemarahan massa, dan muncul aksi-aksi
diskriminatif
seperti aksi kekerasan ”anti-Cina”. Etnis Tionghoa diduga turut
mendukung
pemberontakan tersebut, akibatnya kekerasaan massa anti-Cina mulai
marak,
dan pada tragedi Mei 1998, etnis Tionghoa juga menjadi korban kemarahan massa.
Perumahan dan pertokoan milik etnis Tionghoa dibakar, dan
perempuan
keturunan Tionghoa diperkosa (Toer, 1998). Tragedi ini merupakan
representasi
paling nyata dari adanya prasangka terhadap etnis Tionghoa
(Gerungan,
2002).
Pengalaman
traumatis yang dialami baik oleh golongan Pribumi ataupun
golongan
Tionghoa sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang
menyebabkan
prasangka pada masing-masing pihak semakin kental (Sarwono,
1999).
Prasangka di kalangan Pribumi tentang golongan Tionghoa adalah orang
Tionghoa
selalu diberi fasilitas, sedangkan Pribumi tidak, memiliki nasionalisme
yang
rendah, eksklusif, kikir,sombong, dan plin-plan dengan mengira bahwa
semuanya
bisa dibeli dengan uang. Di pihak lain golongan Tionghoa juga
berprasangka
kepada golongan Pribumi. Menurut penelitian Willmot dalam
Sarwono
(1999), golongan non-Pribumi (orang Tionghoa) merasa dirinya lebih
pandai
dan lebih canggih daripada Pribumi. Golongan Pribumi pemalas dan tidak
dapat
dipercaya (Sarwono, 1999).
Permasalahan
antar etnis ini dapat ditinjau dari social-categorization
theory
yang dikemukakan oleh Turner, dkk (1987) bahwa dalam kehidupan
sehari-harinya,
individu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial
mereka
menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ”kita” dan ”mereka” atau ”us
versus
them”. Dalam kaitannya dengan permasalahan etnis yang terjadi di
Indonesia,
baik kelompok etnis Pribumi maupun kelompok etnis Tionghoa telah
membuat
kategorisasi sosial berdasarkan pada karakteristik fisik yang menonjol
seperti
warna kulit, bahasa yang digunakan, agama yang dianut dan karakteristik
fisik
lainnya (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Kelanjutan dari kecenderungan
ini
adalah individu akan memandang kelompok ingroup lebih baik dibandingkan
kelompok
outgroup. Kelompok outgroup biasanya akan dinilai secara negatif
seperti
memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya
kelompok
outgroup tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya
sebagai
kelompok ingroup (Soeboer, 1990). Tjun dalam Sarwono (1999)
menemukan
bahwa di kalangan siswa Pribumi dan non-Pribumi, pandangan
terhadap
kelompok ingroup selalu lebih positif daripada outgroup, sedangkan
Hastuti
dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa karyawan Pribumi yang berada
dalam
lingkungan kerja dengan mayoritas non-Pribumi (Tionghoa) bersikap lebih
positif
terhadap non-Pribumi daripada Pribumi yang bekerja di lingkungan di
mana
ia sendiri menjadi minoritas.
Menurut
Brewer dan Miller dalam Mendatu (2007), perasaan ingroup dan
outgroup
berhubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Kelompok ingroup akan
memandang
kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota
kelompok
outgroup, sama yaitu semuanya tidak bisa dipercaya. Hal yang sama
juga
terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi dalam Irmawati (1996), adanya
prasangka
dalam diri seorang pengusaha ataupun karyawan akan membuat mereka
membatasi
situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya atau
dengan
kata lain cenderung mempersepsikannya dengan cara yang sama.
Misalnya
seorang pengusaha meyakini bahwa kemampuan kerja karyawan yang
berasal
dari satu suku / ras tertentu (outgroup) jelek atau rendah, maka atas dasar
keyakinan
ini segala pengalaman yang diperolehnya mengenai suku / ras tersebut akan
dianggap sama dari segi keyakinan tadi. Dengan kata lain, pengusaha
tersebut
tidak mempercayai (distrust) karyawan dari suku / ras tertentu (outgroup)
berdasarkan
pada keyakinan yang dimiliki sebelumnya (Irmawati, 1996).
Trust
merupakan hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan organisasi
supaya
hubungan antar individu dapat berjalan dengan baik sehingga
meningkatkan
produktifitas dan performansi kerja (Robbins, 2005). Tanpa adanya
trust,
kesuksesan suatu projek tidak akan tercapai, sebaliknya energi dan uang
akan
terbuang sia-sia. Trust merupakan perasaan yang dinamis. Setiap perilaku
yang
ditunjukkan individu dalam suatu organisasi akan menurunkan atau
menaikkan
derajat kepercayaan (trust) yang dirasakan orang lain terhadapnya
(Johnson
& Johnson, 2000). Trust bukan merupakan hal yang mudah untuk
dibangun,
terutama apabila hubungan antar kedua pihak tersebut
dikarakteristikkan
dengan adanya resiko yang tinggi. Trust meliputi kepercayaan
bahwa
seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, jujur, bisa
dipercaya,
dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja melebihi target (Fletcher
&
Clark, 2001). Interaksi yang intens akan membuat seseorang mampu untuk
memprediksi
bagaimana sifat seseorang di masa yang akan datang.
Menurut
Flynn & Chatman (2002), trust dipengaruhi oleh kategorisasi
sosial
(social categorization). Social categorization merupakan salah satu sumber
penyebab
munculnya prasangka, yaitu individu cenderung untuk membagi dunia
sosial
mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ingroup dan outgroup.
Pada
dunia kerja dimana terdapat karyawan Pribumi dan non-Pribumi
(karyawan
etnis Tionghoa) akan sering muncul prasangka. Diduga terjadinya prasangka ini
sebagai akibat adanya perbedaan posisi atau kedudukan jabatan
dimana
karyawan non-Pribumi lebih banyak menduduki jabatan yang lebih tinggi
dibanding
karyawan Pribumi sekalipun tingkat pendidikan karyawan Pribumi
lebih
tinggi dari karyawan non-Pribumi (Irmawati, 1996).
§ Langkah apa yang dapat anda
sarankan untuk menghilangkan isu Pribumi dan Non Pribumi di Indonesia?
Menurut
saya langkah yang harus dilakukan untuk menghilangkan isu Pribumi dan Non
Pribumi di Indonesia yaitu dimulai dari langkah yang sederhana, dengan untuk
tidak membeda-bedakan sesama manusia. Karena negara kita terdiri dari berbagai
macam suku, ras, dan agama yang sudah sepatutnya kita saling menghargai satu
sama lain tanpa mempermasalahkan perbedaan yang ada.
Source
: